Selasa, 19 Oktober 2010

Meringkas Gamelan untuk Generasi TI

Oleh IRENE SARWINDANINGRUM
Rencananya, aplikasi juga akan dilengkapi lirik dan notasi.
-- Annisa Fitriani
KOMPAS.com - Sekarang semakin banyak warga dari negara asing mempelajari gamelan. Namun pada saat yang sama, kontras dengan itu, semakin banyak pula generasi muda Jawa meninggalkan seni musik tradisi leluhurnya tersebut.
Fakta ironis ini mendasari tiga pelajar SMA Negeri 1 Yogyakarta menciptakan aplikasi komputer gamelan virtual. "Virtualizing Gamelan", demikian aplikasi komputer itu disebut, menyajikan gamelan dalam bentuk aplikasi komputer yang ringkas dan menarik.
Tiga penggagasnya adalah pelajar Annisa Fitriani (17), Miftah Adiyaksa Luckyarno (16), dan Ninda Frisky Rahmawati (17). Pada kompetisi penelitian Indonesia Young Scientists (Inays) di Bandung pekan lalu, karya ilmiah ini meraih medali emas di bidang komputer dalam. Karya ini juga menjadi salah satu kandidat untuk ikut International Conference of Young Scientists yang berlangsung di Moskwa, Rusia, tahun 2011.
”Saya lihat teman-teman saya lebih tertarik pada musik klasik Barat atau musik tradisional daripada gamelan. Kalau ditanya alasan mereka sama, belajar gamelan mahal dan tidak praktis. Karena itulah, kami ingin membuat aplikasi komputer yang membuat belajar gamelan menjadi lebih murah dan mudah dipelajari,” kata Annisa di Yogyakarta, Rabu (13/10/2010) lalu.
Annisa mengatakan, pembuatan gamelan virtual juga terinspirasi aplikasi angklung virtual yang sebelumnya dibuat pelajar Bandung, Jawa Barat. Keinginan membuat gamelan virtual semakin kuat ketika mereka menemukan banyak aplikasi gamelan virtual di internet yang telah dibuat warga asing.
”Masak kita malah kalah sama mereka,” kata Annisa menambahkan.
Aplikasi ini menyediakan gamelan dalam versi pelog (gamelan tujuh nada) dengan delapan instrumen, yaitu bonang, gong, gambang, kempul, kenong, gender, saron, dan slenthem. Menurut Annisa, gamelan virtual versi pelog ini dipilih karena masih jarang.
Sebagian besar visual gamelan yang telah ada merupakan versi slendro (gamelan lima nada). Aplikasi tersebut mempunyai empat menu, yaitu perkenalan gamelan, bermain dengan orang lain, bermain sendiri, dan menu main.
Pilihan ”bermain dengan orang lain” memungkinkan permainan dilakukan beberapa orang sekaligus melalui sambungan internet. Pada menu ”main”, pemain dapat berlatih gamelan dengan iringan lagu lancaran ”Kebo Giro” dan lancaran ”Udan Mas”.
Sebelum membuat karya ilmiah ini, Annisa dan Yayak mengaku harus mempelajari seluk beluk musik gamelan. Maklum, keduanya termasuk generasi masa kini yang lebih akrab dengan musik modern. Di antara ketiganya, hanya Ninda yang lumayan dengan musik tersebut karena mengikuti ekstrakurikuler gamelan di sekolah.
Mereka juga merekam setiap nada pada gamelan secara manual di studio rekam. Proses perekaman ini memakan biaya tak sedikit, yaitu mencapai Rp 800.000. Padahal, dana penelitian ini hanya Rp 1 juta.
Pembuatan aplikasi dikerjakan oleh Miftah Adiyaksa Luckyarno yang biasa disapa Yayak. Pembuatan dilakukan menggunakan Flash Macro Media dan bahasa pemograman Pascal. Program ini dikerjakan dalam waktu hanya dua bulan mengingat tenggat untuk mengikuti Inays sudah begitu dekat.
”Jadinya memang kurang sempurna karena waktunya memang mepet sekali,” kata pelajar kelas XI itu.
Menarik
Karena berbentuk aplikasi komputer, ”Virtualizing Gamelan” juga diharap lebih mampu menarik generasi muda saat ini yang memang akrab dengan teknologi informatika dan komputer. Ke depan, aplikasi direncanakan akan diluncurkan di internet sehingga dapat diakses dari seluruh dunia. Penyempurnaan program masih terus dilakukan.
”Kami berusaha membuat pengodean setiap nada dengan keyboard sehingga mainnya nantinya bisa dimainkan seperti main piano. Rencananya, aplikasi juga akan dilengkapi lirik dan notasi,” kata Annisa.
Yayak pun mempunyai ambisi untuk menyempurnakan ”Virtualizing Gamelan” tersebut. Dia berharap, nantinya akan dapat memasukkan gamelan versi keraton Yogyakarta yang dikenal rumit.
Tidak saja meringkas gamelan, ketiga pelajar ini juga berupaya mendokumentasikan berbagai versi gamelan sehingga nantinya musik klasik Jawa tersebut tetap dikenal oleh masyarakat luas.

Sumber : Kompas.Com

2015, Indonesia Produsen Kakao Terbesar Dunia

Jember VOI News -Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian terus melakukan inovasI guna meningkatkan produksi kakao nasional. Peningkatan produksi bahan baku utama coklat tersebut memegang perananan penting agar Indonesia tampil sebagai jawara produsen kakao dunia.Saat ini, Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar kedua di dunia setelah Pantai Gading.
Dengan luas areal tanam 1.563.423 hektare dan produksi 795.581 ton, Indonesia berada di bawah Pantai Gading yang memiliki produktivitas mencapai 1,5 ton per hektare.
Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Teguh Wahyudi, mengatakan sejak 2008 pemerintah mengembangkan sebuah teknologi baru bernama Somatic Embriogenesis. Teknologi itu memungkinkan kegiatan pemuliaan (benih) dilakukan secara massal dari satu tanaman induk.'Jadi berbeda dengan teknologi okulasi dan setek konvensional yang hanya bisa buat satu benih dari satu tanaman induk,'' ujar Teguh pada acara diskusi bertema 'Teknologi Somatic Embriogenesis dan Fermentasi Biji Kakao dalam Upaya Meningkatkan Produksi dan Kualitas Hasil Kakao', di Jember, Jawa Timur, Selasa (13/4).
Menurut Teguh, selain mampu diproduksi secara massal, benih kakao hasil Somatic Embriogenesis juga terbukti mempunyai produktivitas sangat tinggi. Hasil uji coba di lapangan, benih kakao Somatic Embriogenesis mampu menghasilkan produksi lebih dari 2 ton per hektare. ''Potensi kemampuannya bahkan mencapai 4 ton per hektare,'' jelasnya.
Dengan produktivitas seperti itu, dia melanjutkan, Teguh optimistis Indonesia bisa menjadi produsen kakao terbesar dunia pada tahun 2015 mendatang. Perhitungannya, bila satu hektare lahan kakao mampu menghasilkan produksi rerata 1 ton, maka produksi kakao Indonesia bisa mencapai 1,2 juta ton sampai 1,5 juta ton per tahunnya. ''Dengan produktivitas sebesar ini, Indonesia pasti jadi nomor satu karena Pantai Gading saat ini mengalami degradasi produktivitas di bawah 1 ton per hektare.Rep/sugi/pri/ LPP RRI